Merebaknya kasus Covid-19 di India memicu kekhawatiran pasar finansial terhadap berlanjutnya pandemi di tahun 2021. Tercatat, India mengalami lonjakan kasus baru di atas 100 ribu sejak memasuki April 2021 per hari. Tak hanya itu, isu peningkatan kasus Covid-19 juga terjadi di beberapa negara Asia lainnya, seperti Malaysia dan Singapura hingga perlu dilakukan penutupan aktivitas secara ketat (lockdown). Kemunculan varian virus Covid-19 yang baru, seperti B1617 di tengah lonjakan kasus di India turut menambah keresahan karena menimbulkan pertanyaan terhadap efektivitas dari program vaksinasi yang sudah dilakukan sebelumnya.
Kabar tersebut mengaburkan kabar-kabar positif di mana sebelumnya, terdapat sejumlah rilis data-data ekonomi dari negara-negara besar, seperti Amerika Serikat (AS) dan China juga sangat positif. Pertumbuhan ekonomi AS per kuartal I-2021 secara tahunan naik 6,4% lebih baik dari periode sebelumnya. Demikian juga China dengan pertumbuhan ekonomi di periode yang sama naik 18,3% secara tahunan. Tak hanya itu, data laju inflasi tahunan di negara-negara besar, seperti AS, Uni Eropa, dan China per April 2021 juga melesat naik, masing-masing 4.2%, 1.6%, dan 0.9%. Bahkan, rilis data indeks manufaktur di ketiga negara tersebut juga sama-sama menunjukkan peningkatan di atas level 50, bahkan sudah menyentuh ke level 60 di AS dan Uni Eropa per April 2021.
Harga hampir semua komoditas pun turut mengalami kenaikan yang signifikan, terutama dalam memasuki kuartal II-2021, terutama komoditas energi, logam, dan perkebunan. Sepanjang Month to Date (MTD) 11 Mei 2021, komoditas batubara dan CPO paling melonjak tinggi, masing-masing sebesar 10.3% dan 9.9%. Sementara logam, seperti Timah dan Nikel mencatat kenaikan 5.6% dan 2.3% di periode yang sama. Kenaikan harga komoditas tersebut, selain terbawa oleh rilis data-data ekonomi yang positif, terutama data indeks manufaktur, juga terangkat oleh sentimen pelemahan indeks Dollar AS akibat tingginya laju inflasi AS sehingga mayoritas harga komoditas dalam denominasi dalam Dollar AS menjadi relatif menarik.
Namun seiring optimisme di pasar komoditas dan rilis data ekonomi yang fantastis, terdapat sorotan dari Bank Sentral AS, The Fed, di mana fenomena tingginya laju inflasi di AS berpeluang terus berlanjut akibat efek stimulus moneter dan fiskal yang besar untuk menopang ekonomi bangkit di tengah pandemi Covid-19 sekaligus mengindikasikan aktivitas ekonomi yang mulai memanas. Karena itu, pertimbangan dari Menteri Keuangan, Janet Yellen, agar The Fed kembali menyesuaikan kebijakan suku bunga acuan sempat menjadi wacana dan memicu kekhawatiran pasar sekaligus koreksi di pasar finansial.
Meskipun memberikan indikasi positif atas bergeraknya ekonomi, laju inflasi yang meningkat tajam di semester I-2021 di AS tampaknya belum tentu menjadi sentimen yang sehat di pasar finansial. Hal itu disebabkan tingginya inflasi memicu ekspektasi kenaikan imbal hasil (yield) di pasar obligasi pemerintah AS (US Treasury), terutama di tenor panjang, akibat antisipasi investor pada potensi penyesuaian suku bunga acuan yang terlalu dini. Terlebih lagi, kenaikan laju inflasi yang signifikan hanya terjadi di AS dan Uni Eropa, tidak merata ke semua negara besar, seperti China di mana laju inflasi masih di bawah 1% per April 2021. Jadi, optimisme ekonomi yang terefleksi melalui indeks manufaktur dan jasa serta melonjaknya harga komoditas di tengah laju pertumbuhan ekonomi yang belum stabil membuat lonjakan inflasi ini berdampak negatif bagi pasar finansial.
Respon kinerja indeks saham pun beragam terhadap sentimen lonjakan inflasi di AS. Pada indeks saham Dow Jones (mewakili AS) justru mencatat kenaikan kinerja signifikan mencapai 12% sepanjang Year To Date (YTD) per 11 Mei 2021. Namun, hal berbeda terjadi pada negara-negara berkembang di periode yang sama, seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia, Shanghai Stock Exchange (SSE) di China, dan Bombay Stock Exchange di India yang justru mencatatkan perlambatan kinerja sejak memasuki kuarta II-2021. Bahkan untuk kinerja IHSG sendiri justru tertekan di periode yang sama menjadi -0,68% hingga jatuh di bawah level 6.000.
Begitu juga dengan respon di pasar obligasi pemerintah di mana imbal hasil US Treasury untuk tenor 10 tahun masih bertengger di atas 1,65% alias belum mengindikasikan penurunan lebih lanjut sejak melesat naik sepanjang Maret 2021 hingga menyentuh level 1,7%. Demikian juga dengan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun yang masih bertahan di level 6,4% dan tampak sulit kembali turun mendekati rekor terendah di 2021 di level 6%. Dengan latar belakang tersebut, tampaknya investor cenderung bersikap wait and see terhadap potensi kebijakan Bank Sentral AS serta memantau perkembangan data-data ekonomi selanjutnya untuk memastikan apakah ini bersifat sementara atau konsisten mengalami pemulihan.
Selain itu, efek momentum Sell In May and Go Away juga tampaknya tidak terjadi pada semua bursa saham global. Namun, pada pasar saham domestik melalui IHSG, hal ini berpotensi terjadi meskipun dengan tekanan jual yang diperkirakan tidak besar karena laju IHSG sudah melambat akibat koreksi sepanjang Maret 2021. Selain itu, secara statistik momentum Sell In May and Go Away juga relatif kecil dengan probabilitas hanya 40% IHSG mengalami penurunan, baik dalam 10 maupun 20 tahun terakhir.
Adapun sejumlah alasan yang berpotensi menekan kinerja pasar saham domestik sepanjang Mei tahun ini, seperti isu kenaikan kasus Covid-19 yang mulai menghantui kawasan ASEAN, seperti Singapura dan Malaysia, antisipasi terhadap rilis jumlah kasus Covid-19 di tanah air pasca libur panjang, serta mengantisipasi kebijakan bank sentral AS di tengah lonjakan inflasi. Meskipun sudah dijalankan program vaksinasi, namun investor diperkirakan fokus pada isu munculnya varian virus Covid-19 yang baru serta menanti rilis data-data ekonomi domestik selanjutnya setelah laju pertumbuhan ekonomi per kuartal I-2021 masih dalam resesi, yakni -0,74% secara tahunan dan pasca kebijakan larangan mudik di momen hari raya yang diperkirakan berpengaruh terhadap akvitias ekonomi di sektor riil sepanjang kuartal II-2021.
Bagaimana dengan potensi IHSG selanjutnya setelah susah bergerak naik dalam 5 bulan pertama di 2021? Tentu dengan sentimen ketidakpastian ekonomi yang kembali muncul akibat isu gelombang lanjutan kasus Covid-19 ini serta latar belakang antisipasi investor terhadap kebijakan bank sentral AS, The Fed, pasca lonjakan inflasi, penulis memperkirakan tren IHSG masih cenderung bergerak melandai (sideways) dengan rentang 5.800 hingga 6.100 hingga akhir semester I-2021. Meskipun secara valuasi fundamental berdasarkan Price To Earnings Ratio (PER) terhadap rata-rata historis masih relatif murah, namun hal itu belum cukup kuat mendongkrak sentimen pasar. Selain itu, investor juga masih akan menyoroti perkembangan data-data ekonomi makro untuk melihat seberapa besar pemulihan yang terjadi di kuartal II-2021.
Adapun investor bisa menyiasati strategi market timing (investasi berdasarkan momentum beli dan jual) di tengah ketidakpastian jangka pendek ini dengan memanfaatkan fluktuasi harga saham. Mengenai sektor-sektor pilihan, investor bisa mencermati pada sektor yang menjadi kebutuhan primer, terutama untuk akselerasi ekonomi, seperti perbankan, industri dasar dan kimia, barang konsumsi, dan telekomunikasi. Selamat berinvestasi!