Koreksi atau penurunan pada saham bukanlah sesuatu yang tidak wajar, volatilitas pada investasi pasar modal terutama saham sangat umum terjadi, sehingga walaupun koreksi yang terjadi di tahun 2018 cukup dalam namun masih belum bisa dikategorikan sebagai market crash. Walau banyak faktor dan juga analis yang memprediksikan tahun ini adalah tahun yang baik bagi pasar modal berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang positif, rasio hutang yang terus menurun, inflasi yang terkendali dan juga kembalinya rating negara kita ke investment grade (BBB) namun dunia juga masih dibayangi perang dagag amerika dan Tiongkok disamping ancaman kenaikan suku bunga. Dalam dunia pasar modal sendiri siklus bearish dan bullish selalu berulang sehingga timbul istilah “History repeating itself” , ungkapan yang dapat diterjemahkan sebagai sejarah berulang. Oleh karena itu tidak ada salahnya sebagai investor kita bersiap-siap termasuk melihat kemungkinan terburuk.


Tidak ada yang dapat menebak masa depan secara pasti, sebagai investor naik dan turunnya bursa merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Yang investor dapat lakukan adalah belajar dari kejadian sebelumnya tentang apa yang terjadi dan posisi apa yang sebaiknya diambil untuk meminimalkan dampak penurunan atau bahkan memperoleh keuntungan. Untuk itu di artikel kali ini akan secara khusus membahas market crash di tahun 2008 sebagai crash terburuk yang terjadi 10 tahun terakhir dan melihat apa yang terjadi pada saham-saham di Indonesia. Pengamatan difokuskan pada 45 saham yang tergabung dalam indeks LQ45 per Agustus 2008 sebelum market crash. Pemilihan LQ45 sendiri diambil karena merupakan 45 saham paling likuid pada saat tersebut, sehingga dapat mencerminkan pergerakan pasar (IHSG)
Sepanjang tahun 2008 IHSG mengalami crash hingga titik terendah sebesar -59% dibanding awal tahun, kejatuhan terjadi lebih dalam dialami oleh sektor pertanian (-77%), sektor pertambangan (-76.4%) dan sektor aneka industri (-63%). Sedangkan sektor yang jatuhnya paling “kecil” adalah konsumsi(-36%), keuangan (-52%) dan infrastruktur (-57%).
Mengamati kejadian di Crash 2008 tentu menarik untuk di jadikan acuan. Pada pengamatan kali ini diasumsikan investor mengalami “kesialan” dengan membeli setiap saham LQ45 pada harga tertingginya di tahun 2008. Setelah terjadi “Black October” dimana IHSG jatuh 31% dalam 1 bulan akibat dari terjungkalnya harga saham secara keseluruhan berapa lama investor dapat kembali ke modal awalnya?


Dari 45 saham yang tergabung di indeks LQ45 ternyata hingga kini yang sudah kembali ke harga tertinggi di tahun 2008 hanya ada 20 saham ( atau 44%). Dari 20 yang kembali ke harga tertingginya rata-rata membutuhkan 653 hari kalender. Hasil yang cukup mengejutkan karena ternyata probabilitas untuk kembali ke harga tertinggi setelah mengalami Crash di bawah 50% bahkan setelah 3 tahun.
Lalu apakah kapitalisasi pasar berpengaruh terhadap probalilitas harga saham untuk kembali ke harga tertingginya? Untuk menjawab pertanyan ini maka pengamatan dilanjutkan dengan membagi 45 saham LQ45 berdasarkan kapitalisasinya sebanyak 3 bagian. 15 Saham dengan kapitalisasi terbesar digolongkan sebagai saham besar, 15 saham berikutnya sebagai saham menengah dan 15 saham dengan kapitalisasi terkecil sebagai saham kecil.


Untuk golongan saham kapitalisasi besar ternyata hanya 7 dari 15 saham(46.7%) yang kembali ke harga tertingginya dengan rata-rata membutuhkan 544 hari kalender, untuk golongan menengah juga menghasilkan statistik yang sama (7 dari 15 ) dengan rata-rata membutuhkan 616 hari kalender dan untuk golongan kecil hanya 5 dari 15 (33.3%) yang kembali ke harga tertinggi di tahun 2008 dengan rata-rata membutuhkan 653 hari.


Dari hasil pengamatan sederhana diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa investor harus berhati-hati ketika membeli saham dalam tren bullish karena bila terjadi crash ternyata saham dengan kapitalisasi besar sekalipun bukan merupakan jaminan harga nya akan kembali naik. Namun demikian saham dengan kapitalisasi besar memiliki potensi kembali lebih cepat dari saham kapitalisasi menengah ataupun kecil walaupun tetap dengan probabilitas masih dibawah 50%.
Dengan demikian tentu terlihat bahwa investor harus lebih cermat saat membeli saham yang mencatat rekor harga tertinggi karena bila terjadi crash maka untuk menutup kerugian tersebut dibutuhkan waktu yang relatif lama (hingga minimal 1,5 tahun) dan dengan probabilitas dibawah 50%. Memilih saham (stock picking) menjadi sangat penting karena dengan saham yang salah uang investor bisa tidak kembali walaupun sudah dipegang selama 10 tahun. Harap diingat bawah hasil pengamatan dapat berubah bila periode pengamatan diubah, investor tidak disarankan menggunakan pengamatan sederhana ini sebagai acuan utama dalam berinvestasi.


Sebagai investor tentu kita berharap bahwa secara umum saham akan naik dalam jangka panjang namun karena pergerakan saham sangat dinamis dan saling terkaitnya pasar global maka banyak kejadian yang tidak diprediksikan sebelumnya dapat terjadi. Investor sebaiknya mempersiapkan yang terburuk dengan menerapkan manajemen risiko salah satunya dengan memiliki cutloss poin misalnya 8%-10% dan menerapkanya dengan disiplin untuk menghindari dananya terjebak dalam waktu lama di suatu saham.