Seiring dengan membaiknya industri pasar modal paska kejatuhan di tahun 2015 maka hampir semua instrumen pasar modal mengalami kenaikan yang signifikan, lalu bagaimana dengan kinerja reksadana pendapatan tetap (RDPT) yang berbasis obligasi?

Untuk bisa menganalisa kinerja reksadana yang berbasis obligasi kita perlu melihat perkembangan industri ini. RDPT pernah mengalami pertumbuhan yang fenomenal pada tahun 2003-2005 disaat suku bunga bank sangat rendah (dibawah 6%). Untuk menarik minat investor bank berlomba-lomba menjual RDPT yang dipersepsikan kepada investor mirip dengan deposito

Karena selama ini menggangap RDPT mirip dengan deposito maka investor kaget ketika nilai investasinya menjadi negatif karena penurunan harga obligasi akibat naiknya inflasi di tahun 2005. Informasi yang kurang dan investor yang mengambil asumsi terburuk menuai kepanikan, RDPT pun mengalami gelombang penarikan yang sangat dalam. Dana kelolaan yang mancapai Rp 88 triliun di bulan Februari 2004 terpangkas 86% menjadi Rp 12 triliun di akhir Desember 2005. Tentu saja pihak regulator, manajer investasi, agen penjual dan investor sendiri telah memetik pelajaran yang tidak murah dalam kejadian ini. Peraturan baru diberlakukan, Manajer Investasi wajib menilai portfolionya dengan harga wajar, agen penjual wajib memiliki lisensi dalam menjual reksadana dan sebagainya.

Yang menggembirakan tentunya RDPT tidak lantas ditinggalkan begitu saja, meski memiliki pesaing dalam bentuk reksadana terproteksi yang secara underlying asset serupa namun per akhir Maret 2016 ini dana kelolaan RDPT telah mencapai Rp 50.7 triliun, angka ini meningkat 45% dibanding dana kelolaan Maret 2015 sebesar Rp 34.9 triliun, secara persentase pertumbuhan tersebut diatas rata-rata pertumbuhan reksadana jenis lainnya. Hal ini dapat di interprestasikan sebagai meningkatnya minat investor terhadap RDPT. Salah satu pendorong peningkatan dana kelolaan RDPT adalah terbitnya peraturan OJK no.1 Tahun 2016 yang mewajibkan instritusi keuangan seperti asuransi untuk menempatkan dananya hingga 30% ke instrument Surat Berharga Negara. Hal ini ikut memicu kembalinya minat investor terutama institusi asuransi ke reksadana pendapatan tetap mengingat reksadana memiliki insentif berupa pajak atas kupon dan diskonto obligasi hanya 5% dari tarif normal 15%.

Lalu bagaimana sebenarnya kinerja RDPT di tahun 2016? Tahun ini kinerja RDPT sangat baik didukung oleh tren penurunan suku bunga, dimana rata-rata RDPT tumbuh 7% secara Year-to-date (YTD) hingga 26 April 2016. Kinerja ini didukung oleh kenaikan harga obligasi terutama SUN

Adapun kinerja 10 RDPT terbaik dapat dilihat pada tabel berikut

Dari hasil perbandingan dapat dilihat bahwa rata-rata return dari 10 RDPT terbaik selama year to date tahun 2016 adalah sekitar 12.5%. return tertinggi dibukukan oleh RDPT yang dikelola oleh PT Mega Capital Investama, disusul oleh PT Bahana TCW Investment Management. Harap diingat bahwa peringkat diatas dapat berubah pada periode pengamatan yang berbeda.

Mengingat saat ini tren suku bunga terus menurun, terlihat dari kebijakan Bank Indonesia yang memberlakukan 7 days reverse repo rate yang ditetapkan berada di level 5.5% per tahun. Bunga yang jauh dibawah BI Rate ini akan mendorong suku bunga untuk kembali turun. Dengan demikian reksadana pendapatan tetap masih memiliki potensi untuk kembali membukukan kinerja yang positif diatas suku bunga deposito

Namun tentu aja investor yang berminat untuk membeli reksadana jenis ini harus memahami risiko perubahan harga obligasi, potensi kembali naiknya suku bunga dan juga memiliki profil risiko yang sesuai.

Happy Investing