Koreksi pasar saham di tahun 2020 tentu membuat banyak investor mengalami penurunan investasi dan cenderung skeptis pada pasar saham apalagi untuk perencanaan dana pensiun, namun janganlah berkecil hati, Dalam dunia investasi dan perencanaan keuangan umumnya teori yang dipercaya masyarakat adalah berinvestasi pada portfolio agresif seperti saham saat muda untuk mengejar kinerja dalam jangka panjang. Ketika mendekati usia pensiun investor dipercaya sebaiknya melepas posisi pada saham dan memindahkan sebagian besar portfolionya pada obligasi atau dalam bentuk uang kas.
Secara intuitif teori ini tentu masuk akal, saham jelas lebih fluktuatif dibanding instrumen pendapatan tetap seperti obligasi atau deposito, disamping itu tidak ada jaminan suatu saham akan terus membagikan dividen. Dengan demikian tentu lebih aman bagi pensiunan untuk memarkir dananya pada portfolio yang tidak volatil. Namun apakah pemikirian seperti itu berlaku di Indonesia?
Tentu masih segar dalam ingatan investor ketika krisis kredit pada tahun 2008 “menguapkan” 60% dari nilai IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan), membayangkan seorang pensiunan kehilangan lebih dari setengah kekayaannya mungkin membuat merasa kasihan dan berpikir bahwa memang tidak seharusnya uang pensiun diinvestasikan dalam bentuk saham.
Namun harus diingat bahwa pasar saham selalu pulih, bahkan dari kejatuhan dalam di tahun 1998 ataupun 2008 dan bahkan di tahun pandemi 2020 ketika iHSG terkoreksi dalam hingga di level dibawah 4000 namun mampu kembali rebound ke level 6000 dan kurang dari 1 tahun. Selama investor tidak panik dan melakukan penjualan pada harga rendah maka kemungkinan untuk investasinya kembali selalu ada. Untuk mengilustrasikan hal ini mari kita berasumsi ada 6 pensiunan, masing-masing mendapatkan uang pensiun tunai sebesar Rp 1 miliar dan memutuskan untuk menginvestasikan semuanya pada portfolio saham.
Para pensiunan ini berinvestasi pada tahun yang berbeda yaitu 1984, 1989,1994,1999,2004 dan 2009. Masing masing pensiunan ini berencana menarik Rp 100 juta ( 10%) dari nilai investasi awal Rp 1 miliar untuk biaya hidup. Tahun tahun diatas adalah tahun yang cukup bullish dan beberapa saat setelahnya market mengalami koreksi. Dapatkah investasi sebesar Rp 1 miliar ini bertahan hingga akhir Feb 2021?
Dari tabel kita bisa melihat denan penarikan Rp 100 juta ( 10%) pertahun hanya 3 dari 6 portfolio mampu bertahan, dengan sisa mulai dari Rp 610 juta hingga Rp 21 miliar dengan 3 portfolio “hanya” bertahan 11 tahun. Untuk pensiunan yang berinvestasi pada IHSG pada akhir Des 1984 senilai Rp 1 miliar maka kini bernilai sebesar Rp 38.4 miliar pada akhir Feb 2021. Hal ini setelah memperhitungkan penarikan sebesar Rp 100 juta pertahun selama 37 tahun atau penarikan senilai Rp 3.7 miliar.
Sementara bagi pensiunan yang berinvestasi pada awal tahun 90 an dananya habis setelah 11 tahun karena tergerus oleh koreksi pasar yang dalam. Namun demikian bila para pensiunan ini menurunkan penarikan dananya sebesar 6% ( rata-rata suku bunga deposito selama 20 tahun terakhir setelah pajak adalah 6%) menjadi Rp 60 juta pertahun maka portfolio 3 pensiunan ini mampu bertahan melawati koreksi pasar dan bahkan masih mampu bertumbuh.
Perhitungan diatas mengasumsikan investor melakukan investasi pada IHSG yang merupakan kumpulan semua saham di Indonesia, data ini belum memperhitungkan dividen, inflasi dan biaya transaksi. Investor diasumsikan melakukan penarikan setiap akhir Desember kecuali di tahun 2021 yang menggunakan data akhir bulan Februari.
Penelitian singkat diatas mengindikasikan beberapa hal yaitu selama dana investor terus diinvestasikan di pasar saham maka secara umum mampu untuk tumbuh meski melewati banyak koreksi dalam. Hal lain adalah seorang pensiunan dapat menarik sesuai besaran rata-rata suku bunga deposito sebesar 6% (atau senilai Rp 60 juta dari Rp 1 Miliar) pertahun selama hidupnya dan masih mampu memberikan warisan kepada keluarganya dengan berinvestasi pada saham.
Namun harap diingat bahwa penelitian singkat ini mengasumsikan para pensiunan tadi dapat berinvestasi terdiversifikasi sesuai IHSG ( yang berarti membeli semua saham sesuai bobotnya). Pada praktiknya hal ini relatif sulit dilakukan bagi individu, alternatifnya dapat dilakukan melalui reksadana berbasis saham yang portfolionya menyerupai indeks.